Waktu masih
terlalu dini untuk pulang ke sarang bagi para burung. Bahkan langit belum
melukiskan tinta hitam di sebelah barat.
Aku telah terjaga. Dengan nada tersendu-sendu sesak aku bernafas, seakan ada
jutaan kerikil yang bersarang di tenggorokan, sangatlah menyumbat saluran pernafasanku, mata berair membasahi pipiku.
“Tuhan!!, apa ini jalan hidupku? Tak diacuhkan mereka, dan disia–siakan layaknya seonggok bangkai di selokan pembuangan limbah!”.
Aku terus menangis ditemani jutaan benda tak bernyawa sembari memainkan jemari. Kutatap foto yang kuselipkan dalam buku diariku yang tak pernah kusentuh. Karena aku takut, melihat masa kecilku yang begitu dikasihani.
“Tuhan!!, apa ini jalan hidupku? Tak diacuhkan mereka, dan disia–siakan layaknya seonggok bangkai di selokan pembuangan limbah!”.
Aku terus menangis ditemani jutaan benda tak bernyawa sembari memainkan jemari. Kutatap foto yang kuselipkan dalam buku diariku yang tak pernah kusentuh. Karena aku takut, melihat masa kecilku yang begitu dikasihani.
Sesekali angin
berbisik “ingatlah karena dirimu mereka jadi miskin. Wanita tangguh itu sudah
18 tahun hidupnya hanya tergantung obat-obatan! Sungguh kehadiranmu bagaikan
hantaman badai topan! mungkin kau bukan anak yang diharapkan untuk lahir ke
dunia!”.
Read More
1 Comment