Menatap Indonesia



Bara kagum menjadi api, gejolak bunga bangsa melalab atmosfer bumi pertiwi. Jantung sejarah  tak kan berhenti ataupun terrenkarnasi. Tak cukup satu abad untuk mengatur nafas. Proses demi proses seakan dipotong urat nadinya. Perlawanan yang nyawa pun harus disumbangkan, tidak membunuh semangat mereka.
Ketahuilah teman-teman, setting sejarah kita pasca kemerdakaan mengalami semacam daur ulang yang di sana sini membasuh wajah letihnya dengan darah dan kekerasan. But, Together we are one.!! Kesuksesan yg urgent!!, YES, KEMERDEKAAN!!
Melahirkan tali yang tak terputus dari Sabang sampai Merauke.
Antusias tulang muda bangsa telah menggempakan pelosok dunia, bahwa Indonesia layak merdeka!.
Prasasti kesetiaan terhadap pertiwi, terbekas 84 tahun yang lalu dimana tulang muda melisankan dengan lantangnya,
“ kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu bahasa Indonesia. “
Jauh dari abad bambu runcing. Kita terlahir menjadi tulang – tulang muda yang harus mempertanggung jawabkan harapan bunga bangsa. Rasa memiliki negri Indonesia harus tegak berdiri meski badai menerpa.
Yes!. Kesetiaan terhadap Indonesia bukanlah sekedar pameran yang dinikmati nyawa - nyawa pengecut ataupun dirampok pengunjung asing!. Dulu tulang muda bangsa harus mempertahankan Indonesia dengan tombak, namun bukan saatnya lagi kita memainkan tombak. Kita harus pintar –  pintar memakai otak kita untuk menyelesaikan masalah, karena mahkota ini bukan untuk hiasan. Jago merah telah mencoba menghancurkan negri ini, karena ada beberapa sumber arogan yang tajam hingga Indonesia ini benar – benar terputus urat nadinya, bangsa ini terbelah, sang penikmat mengontraskan diri dengan sang penonton yang menikmati tontonannya yang dilakoni sang penikmat.
Tragis! Absurd! Dan inilah eksistensial sebagai orang, sebagai bangsa.
Mungkin ketika bunga bangsa menatap Indonesia, perjuangan yang begitu tragis mengentayangi selama oksigen menyelimuti atmosfer medan peperangan, mungkin lebih menyasat – nyasat sukma bunga bangsa, bahwa saat bumi pertiwi ini harus hancur dengan arogan yang melanda bangsa. Tulang muda harapan pertiwi terbang tanpa arah dengan adanya masalah – masalah baru, rasa persatuan mulai rapuh dimakan rayap –rayap dari berbagai pelosok dunia yang mencoba menggrogoti Indonesia. Mereka tau bahwa kondisi tulang muda saat ini begitu lezat untuk dipecah belah.

Tulang muda harus segera bangun dari hipnotis, melakoni kekerasan tanpa darah yang terjadi di masa pembangunan ini. Perlu kesadaran yang luar biasa dahsyat, agar bangsa ini paham!! Satu abad kurang dua windu sudah berlalu, harta karun sang bunga bangsa masih menjadi teka – teki bagi para tulang muda pengecut. Namun beda halnya dengan para tulang muda yang bertanggung jawab, belajar mengatisipasi masalah yang telah membara di bumi pertiwi. Belajar menciptakan kesolidan, semangat kebangsaan, dan rasa cinta kepada bumi pertiwi ini. Tanah  Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia, telah terstruktur jauh sebelum kita lahir. Dan detik pertama ketika kita menghirup oksigen, tercatatlah kita sebagai tulang muda harapan bangsa Indonesia pemimpin bangsa.
Detak jantung bumi pertiwi ini, ada pada semangat tulang muda. Saatnya tulang muda harus membayar darah  dan kekerasan yang telah disumbangkan para bunga bangsa. Cita – cita luhur sang bunga bangsa hasrus lebih digali. Agar harta termahal itu menjadi milik bangsa Indonesia secara hakiki.



0 Response to "Menatap Indonesia"

Posting Komentar