Hati-hati dengan Hati



        
Waktu masih terlalu dini untuk pulang ke sarang bagi para burung. Bahkan langit belum melukiskan tinta hitam di sebelah barat. Aku telah terjaga. Dengan nada tersendu-sendu sesak aku bernafas, seakan ada jutaan kerikil yang bersarang di tenggorokan, sangatlah menyumbat saluran pernafasanku, mata berair membasahi pipiku. 
“Tuhan!!, apa ini jalan hidupku? Tak diacuhkan mereka, dan disia–siakan layaknya seonggok bangkai di selokan pembuangan limbah!”. 
Aku terus menangis ditemani jutaan benda tak bernyawa sembari memainkan jemari. Kutatap foto yang kuselipkan dalam buku diariku yang tak pernah kusentuh. Karena aku takut, melihat masa kecilku yang begitu dikasihani.
Sesekali angin berbisik “ingatlah karena dirimu mereka jadi miskin. Wanita tangguh itu sudah 18 tahun hidupnya hanya tergantung obat-obatan! Sungguh kehadiranmu bagaikan hantaman badai topan! mungkin kau bukan anak yang diharapkan untuk lahir ke dunia!”.

Ya, aku tahu itu. Jika saja reinkarnasi berlaku di bumi, aku lebih memilih untuk tidak terlahir jika hanya untuk menghadapi ganasnya hidup!. Lamunanku buyar ketika tetes-tetes manja menyerangku menyelinap di balik balutan kain yang kukenakan. Langit menangis. Aku melangkah menuju kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Kuhadapkan diriku di cermin seluas 1,5 x 0,5 m. Nampak di sana sosok wanita dengan mata memerah, wajah yang kalut. Sesekali aku tersenyum, “inginkah mereka melihatku lenyap dari gubuk ini? ” Namun setelah itu aku menangis lagi. Kusapu airmataku dan tersenyum lagi. Namun tetap saja aku tak bisa. Terkadang bayang-bayang kelam menghantui. Adakah
orang tua yang mau mengangkatku dari sampah menjadi emas? Menyatukan kembali puing-puing dinding hati yang runtuh hingga menjadi istana kasih sayang kembali bertengger kokoh?.
Waktu mengantarku ke ujung hari. Tanpa bintang dan rembulan malam ini. Tapi biarlah, setidaknya tak ada yang mencaciku lewat tatapan-tatapan hina. Angin kencang bertiup hingga kemrosok dedaunan semakin tajam kudengar. Namun aku semakin tidak kuat mengalami tekanan mental ini. Kucurahkan semua beban hanya di microsoft word yang memerlukan 3 halaman dengan 1.160 kata. “Huh” kehela nafasku panjang. Hujan belum juga berhenti. Januari memang selalu kelabu. Hujan dan kabut turun setiap waktu. Di tahun lalu Januari menjadi sahabatku meski kelabu. Setiap hari sepulang sekolah, Gazebo depan ruang BP menjadi pelabuhan gubukku. Hujan yang setia menemaniku, dinginnya angin sepoi-sepoi diikuti dengan percikkan tanah membuat suasana menjadi eksotis. Laptop yang selalu menemani sepiku, membuatku semakin betah di Gazebo. Apalagi ketika aku diajarkan hal baru oleh kakak kelas ataupun adik kelas mengenai internet. Semakin membara semangatku untuk mahir seperti mereka. Kita belajar untuk mengajar, mengajar untuk belajar begitu seterusnya. Proses belajar tak boleh berhenti, usia bukanlah penghalang, meskipun aku senior, aku menimba ilmu dari mereka yang junior. Yang begitu menyadarkanku kita selaku manusia butuh kebersamaan untuk dikenal, disayangi, dibanggakan, dikenang, dan selalu didoakan yang baik meski kita sudah berada di dalam tanah dimakan jutaan mikrooraganisme. Teman-teman begitu menyayangiku meski dibalik semangat, pikiran yang selalu positif, terlalu percaya diri hingga wajah gedhek menjadi gelarku, tersimpan sifat yang mungkin tak disukai. Secara spontan sifat pemarah, jutek itu aku perlihatkan ketika aku melihat hal-hal yang menurutku buruk. Bahkan sikap itu hampir aku perlihatkan pada para Guru, apalagi dengan Guru yang khusus mengampu kejuruan yang aku ambil. Tak bosan-bosannya aku hotspotan, hingga menjelang malam aku baru kembali ke gubuk. Aktivitasku monoton ketika sudah di dalam tempurung. Puji Tuhan sepasang orang tua masih bisa menghirup udara bebas. Ayah hijrah untuk mencari nafkah, barulah setiap 2 minggu kembali. Ibu adaIah wanita tangguh. Dia seorang diri mengurus rumah. Aku tiga bersaudara. Ada kakak dan adik. Mereka memiliki keunikan sendiri-sendiri. Kakakku begitu dicintai masyarakat, dialah bunga desa. Empatinya sungguh mendarah daging namun dia penakut. Kini dia menjadi Guru disalah satu sekolah swasta di Klaten. Mereka begitu membangga-banggakan kakakku. Dan adikku  selalu saja mencuri kasih sayang mereka. Dia selalu memojokkanku seakan tak ada celah untukku mendapatkan kasih sayang mereka. Begitu pula kakakku dia lebih sayang dengan adik dan selalu saja memerintahku sesuka dirinya. Inilah yang menyihirku 180 derajat ketika berada di dalam tempurung. Semua yang menimpaku aku jadikan motivasi untuk segera bisa sukses di usia muda. Aku merindukan ciuman dikeningku dari mereka, aku merindukan mereka mengatakan “aku bangga melahirkanmu nak” inilah harta yang terkubur di hati mereka. Mereka dibutakan dengan hal-hal yang sesaat saja. Setengah tahun jiwa ini tertekan, menangis tiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Orang yang sangat aku cintai lebih membanggakan yang lainnya apalagi membandingkanku dengan anak orang lain. Perih kurasaka, lukaku makin menganga ketika kudengar mulut–mulut mungil bergosip ria, menganggap bahwa aku bukan darah daging mereka. Tak ada persamaan genetik. Dan di waktu masalah datang menghantam, pelampiasan kemarahan tertuju padaku. Seakan aku ini bagaikan tempat sampah. Namun ketika aku memberontak dan mencoba memutar “apakah kalian sudah menjadi orang tua yang baik?” mereka semakin marah bahkan memukulku dan menginginkanku untuk pergi dari gubuk ini. Hal ini sungguh mencabik-cabik hatiku. Pikiran untuk mengakhiri hidup terbesit di otakku. Namun keinginan itu sirna, komunitas positif telah merangkulku. Aku tak mengenalnya, namun mereka bagaikan keluarga baruku. Menuntunku keluar dari gelapnya hidup. Untuk bisa merubah hidup jauh lebih baik. Aku dijaarkan untuk bertransformasi memiliki karakter pemimpin, dicintai banyak orang, kemandirian ekonomi.
Waktu melaju tanpa henti, tanpa takut kehabisan bahan bakar. Ketika makan di bangku SD aku bercita-cita menjadi seorang dokter agar aku bisa mengobati derita wanita tangguh itu. Namun keinginan itu sirna ketika aku telah mengenakan putih biru selama 3 tahun. Aku ingin menjadi sekretaris perusahaan swasta di Indonesia yang berinisial  PT Griyaton. Berprofesi menjadi sekretaris pun akhirnya terpendam. Masa putih abu-abu, aku mulai memfokuskan harapanku, cita-citaku, masa depanku menjadi inspirasi para anak muda. Aku selalu memelihara cita-cita itu.  Meski setiap hari berganti jarum jam bergeser detik demi detik, aku menempatkan cita-citaku 5cm di bathok kepalaku. Inilah yang membuatku selalu semangat untuk bisa mengelabui teman-teman agar tidak melihat kejamnya hidupku. Namun ada pula teman-teman yang melecehkanku disaat mulutku komat-kamit memberikan motivasi, mengajarkan untuk bermimpi yang indah-indah. Mereka tertawa ria dan menganggapku gila. Dalam hati ini menggebu-gebu “harusnya aku yang tertawa bukan kalian, toh kalian juga belum tentu bisa sepertiku! mungkin kalian belum sadar, saat ini kalian hanya membangga-banggakan aset orang tua kalian, apakah kalian pernah berpikir jauh ketika orang tua yang asetnya kalian banggakan itu mati?! Sungguh kalian inilah yang perlu ditolong hidupnya agar lembaran berikutnya tak kelam”. Semua cacian teman-teman hanya aku jadikan motivasi.
Di akhir hayatku, aku ingin semua yang di sekitarku bahagia. Goresan yang telah mereka ukir di jiwaku, menggalikan rumah emas ukuran 2 x 1 m. Tempat bersemayan jiwaku yang lelah. Semoga ini menjadi hadiah terindah bagi mereka yang menantikannya. Di waktu mudaku, ingin kumaksimalkan untuk menginspirasi anak muda karena begitu luar biasa sukses di usia muda.
Ayah ibu, aku tak pernah menanyakan berapa biaya yang telah kalian keluarkan untuk membesarkanku hingga kini. Namun aku yakin dengan perginya aku dari kalian selamanya. Itu akan membuat kalian bahagia.
Dan tiba saatnya kalian menuai hasil setelah membesarkanku. Aset yang telah aku rintis itu adalah milik kalian. Mungkin hutangku kepada kalian tak terbayar
, tapi aku mencoba memberikan kepada kalian hal yang tak sesaat. Meski mataku terlelap, kain putih membalutku. Aku mencoba bertanggung jawab layaknya seorang anak kepada orang tua, memberikan yang terbaik pada kalian. Terima kasih kalian telah mejadikanku pejuang sejati.



1 Response to "Hati-hati dengan Hati "

  1. hanseo says:
    7 Maret 2013 pukul 22.10

    knp 18?

Posting Komentar